Kembali ke Penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa: Langkah Maju atau Mundur dalam Pendidikan?
Pemerintah baru-baru ini mengumumkan wacana penjurusan di jenjang SMA, yang membagi siswa ke dalam tiga jalur: Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Bahasa. Kebijakan ini mengingatkan kita pada sistem pendidikan di era 1990-an hingga awal 2000-an, sebelum Kurikulum 2013 menghapus penjurusan demi pendekatan pembelajaran yang lebih fleksibel.
Kembali ke Penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa: Langkah Maju atau Mundur dalam Pendidikan?
Oleh: Agus Ratnaningrum, Guru & Pemerhati PendidikanÂ
Pemerintah baru-baru ini mengumumkan wacana penjurusan di jenjang SMA, yang membagi siswa ke dalam tiga jalur: Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Bahasa. Kebijakan ini mengingatkan kita pada sistem pendidikan di era 1990-an hingga awal 2000-an, sebelum Kurikulum 2013 menghapus penjurusan demi pendekatan pembelajaran yang lebih fleksibel. Sebagai seorang guru yang telah mengabdi selama lebih dari satu dekade  melihat kebijakan ini sebagai pisau bermata dua yang perlu dikaji secara mendalam.
Di satu sisi, penjurusan memiliki keunggulan dalam mempersiapkan siswa secara lebih terfokus sesuai minat dan bakat mereka. Siswa yang memiliki ketertarikan pada sains, misalnya, dapat mendalami mata pelajaran seperti fisika, kimia, dan biologi tanpa harus membebani diri dengan materi sejarah atau geografi yang mungkin kurang relevan dengan cita-cita mereka sebagai dokter atau insinyur. Begitu pula dengan siswa yang bercita-cita menjadi diplomat atau penulis, yang dapat mengasah kemampuan bahasa dan sastra melalui jurusan Bahasa. Penjurusan juga memungkinkan guru untuk merancang pembelajaran yang lebih mendalam dan spesifik, sehingga potensi siswa dapat tergali secara maksimal.
Namun, di sisi lain, kebijakan ini menimbulkan sejumlah kekhawatiran. Pertama, penjurusan di jenjang SMA—yang berarti siswa harus memilih jurusan di usia 15 atau 16 tahun—dikhawatirkan terlalu dini. Banyak siswa di usia ini belum memiliki gambaran yang jelas tentang minat atau karier yang ingin mereka kejar. Tekanan untuk memilih jurusan dapat memicu kecemasan, terutama jika pilihan mereka didasarkan pada ekspektasi orang tua atau tren sosial, bukan keinginan pribadi. Kedua, penjurusan cenderung menciptakan dikotomi yang kaku antara IPA, IPS, dan Bahasa, padahal dunia kerja saat ini menuntut keterampilan lintas disiplin. Seorang insinyur, misalnya, juga perlu memahami aspek sosial dan komunikasi, sementara seorang ekonom harus mampu menganalisis data dengan pendekatan ilmiah.
Sebagai guru SMP, saya sering menyaksikan siswa yang bingung menentukan arah mereka saat akan melanjutkan ke SMA. Kurikulum Merdeka yang saat ini diterapkan sebenarnya telah memberikan ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi berbagai mata pelajaran sebelum memutuskan spesialisasi. Kembalinya penjurusan berisiko mempersempit ruang eksplorasi ini, terutama jika sekolah tidak memiliki sistem bimbingan karier yang memadai. Saya khawatir, tanpa pendampingan yang baik, banyak siswa akan terjebak dalam pilihan jurusan yang tidak sesuai dengan potensi mereka.
Untuk itu, jika kebijakan penjurusan ini ingin berhasil, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, sekolah harus memperkuat program bimbingan konseling untuk membantu siswa mengenali minat dan bakat mereka sejak dini. Kedua, penjurusan sebaiknya tidak terlalu kaku—misalnya, siswa IPA tetap bisa memilih beberapa mata pelajaran IPS atau Bahasa sebagai pengayaan. Ketiga, pemerintah perlu memastikan pemerataan kualitas pendidikan antar-jurusan, sehingga tidak ada lagi stigma bahwa IPA lebih “prestisius” dibandingkan IPS atau Bahasa.
Kembalinya penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa bisa menjadi langkah maju jika diimplementasikan dengan hati-hati dan berorientasi pada kebutuhan siswa. Namun, tanpa persiapan yang matang, kebijakan ini berisiko membatasi potensi generasi muda kita. Pendidikan adalah investasi jangka panjang, dan setiap keputusan harus mengutamakan masa depan anak-anak, bukan sekadar nostalgia pada sistem lama. Mari kita wujudkan pendidikan yang tidak hanya terfokus, tetapi juga fleksibel dan inklusif untuk semua. (*)